PETIRNEWS.COM, Bulukumba – Mentari baru saja naik perlahan di atas langit Pasar Cekkeng Kasuara. Jam masih menunjukkan pukul 06.30 pagi, tapi derak palu, bunyi serokan, dan langkah kaki sudah ramai terdengar dari sudut-sudut pasar. (Kamis,24 Juli 2025).
Sejumlah pedagang, pria dan perempuan, tua dan muda, sibuk mengangkat papan-papan lapuk, menata ulang lapak mereka, dan membersihkan sisa-sisa sampah yang menumpuk sejak lama.

Tidak ada instruksi resmi, tak ada bantuan besar dari luar. Semuanya berangkat dari hati.
“Ini pasar kami. Kalau bukan kami yang jaga, siapa lagi?” ucap Ibu Aji, seorang pedagang sayur, sambil mengangkat sapu untuk membersihkan lantai kiosnya.
Pasar Cekkeng Kasuara bukan hanya sekadar tempat berdagang. Ia adalah nadi kehidupan.
Di sanalah uang belanja harian digantungkan, anak-anak disekolahkan, utang dilunasi, dan mimpi-mimpi sederhana disemai.
Maka ketika pemerintah daerah menggulirkan program kebersihan pasar, mereka menyambutnya bukan sekadar instruksi, tapi dengan rasa memiliki.
“Tidak ada anggaran, tidak ada alat lengkap. Tapi semangat kami cukup,” ujar pedagang yang pagi itu tetap tersenyum meski tangannya belepotan lumpur dan bau amis.
Hari itu, para pedagang tak hanya membersihkan, tapi juga merenovasi kios secara mandiri.
Mereka menyisihkan sedikit dari hasil dagang, memanggil tukang seadanya, bahkan sebagian menggergaji dan memaku sendiri dinding lapaknya.
Ada yang meminjam tangga, ada yang membawa cet dari rumah, semua saling bantu.
Gotong royong yang hidup kembali, itulah yang terlihat di Pasar Cekkeng Kasuara.
Di antara sengatan matahari dan debu yang beterbangan, terdengar tawa lepas, obrolan ringan, dan sesekali jeritan kecil dari paku yang nyaris mengenai tangan. Tapi tak ada yang mengeluh.
“Dulu kami takut, katanya mau dipindah, digusur. Tapi sekarang kami sadar, kalau kami rawat pasar ini, kami tunjukkan kami peduli, kami tidak akan mudah digeser begitu saja,” kata pedagang yang tangannya sibuk menyapu halaman kios sambil mengawasi anak kecilnya yang tertidur di pangkuan kursi plastik.
Ada harapan baru yang perlahan tumbuh. Suasana pasar yang dulu kumuh dan becek kini mulai berubah.
Sudut-sudut yang dulu penuh sampah kini ditata dan dibersihkan. Lapak-lapak yang dulu reyot mulai berdiri tegak.
Bahkan, beberapa pemuda setempat ikut membantu pedagang pasar, tanpa bayaran.
Bukan hanya tentang bersih-bersih. Ini adalah perlawanan diam, lembut tapi dalam, terhadap stigma pasar kumuh, dan terhadap ancaman penggusuran yang selama ini membayangi.
“Pasar ini sudah seperti rumah buat kami. Banyak yang lahir, besar, menikah, sampai tua di sini,” ujar seorang tokoh masyarakat yang sejak pagi menjadi komando gotong royong.
“Kami tidak sekadar bersihkan pasar, tapi juga bersihkan luka dan kekhawatiran yang lama kami pendam.” tuturnya tegas.
Di akhir kegiatan, saat matahari mulai meninggi dan keringat membasahi baju, seorang ibu menyodorkan kopi dan pisang goreng ke para pedagang lain.
“Mari dulu ngopi, biar tambah semangat,” katanya. Suara gelak tawa pun pecah, diiringi wajah-wajah lelah namun puas.
Hari itu, Pasar Cekkeng Kasuara tak hanya bersih dari sampah, tapi juga bersih dari rasa takut.
Mereka memilih berdiri, bukan menyerah. Karena bagi mereka, pasar bukan hanya tempat jualan. Pasar adalah hidup itu sendiri.
(Karaeng Tompo)