Bulukumba,Petirnews.com_Sebagai seorang mahasiswa sekaligus aktivis organisasi kemahasiswaan, Renaldi Amir merasa prihatin dan menolak dengan tegas kebijakan pelarangan mahasiswa untuk berorganisasi yang diterapkan oleh beberapa kampus di Kabupaten Bulukumba. Kebijakan ini bukan hanya membatasi ruang ekspresi dan kreativitas mahasiswa, tetapi juga berpotensi mereduksi kualitas pendidikan tinggi yang seharusnya mendorong pembentukan karakter kritis, kreatif, dan berdaya saing.
Secara konseptual, pendidikan tinggi diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menegaskan bahwa pendidikan bertujuan “mengembangkan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.” Tujuan ini jelas tidak dapat dicapai hanya melalui proses pembelajaran formal di kelas; diperlukan pula pembelajaran non-formal yang diperoleh dari kegiatan organisasi kemahasiswaan.
Dalam perspektif teori pendidikan, John Dewey menyatakan bahwa pendidikan adalah proses sosial, di mana interaksi, kolaborasi, dan partisipasi aktif menjadi kunci pembentukan karakter demokratis. Pelarangan berorganisasi jelas bertentangan dengan prinsip ini karena mengisolasi mahasiswa dari proses pembelajaran sosial yang autentik.
Organisasi kemahasiswaan, baik intra maupun ekstra kampus, merupakan laboratorium sosial yang efektif untuk melatih kepemimpinan, manajemen konflik, keterampilan komunikasi, hingga kemampuan berpikir kritis yang konstruktif. Penelitian oleh Astin (1993) dalam What Matters in College? menunjukkan bahwa keterlibatan mahasiswa dalam organisasi berhubungan positif dengan perkembangan pribadi, prestasi akademik, dan keterampilan sosial. Sayangnya, kebijakan pelarangan berorganisasi justru menutup pintu bagi mahasiswa untuk mengasah potensi diri di luar bangku kuliah. Lebih dari itu, kebijakan tersebut dapat memunculkan iklim akademik yang pasif, di mana mahasiswa menjadi objek pendidikan semata, bukan subjek yang memiliki peran aktif dalam menentukan arah pembelajaran. Hal ini bertentangan dengan konsep student centered learning yang diamanatkan dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia.
Di salah satu kampus di Kabupaten Bulukumba, sebut saja IBA, diduga terjadi praktik pelarangan ini bahkan dibarengi dengan intimidasi terhadap mahasiswa yang ingin bergabung dalam organisasi kemahasiswaan. Ancaman pencabutan status penerima Beasiswa KIP hanya karena aktif berorganisasi tidak dapat dibenarkan secara etis maupun hukum. Jika benar demikian, maka kebijakan ini berpotensi melanggar Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, serta Pasal 24 ayat (1) UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah pihak kampus merasa terancam oleh mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan? Jika demikian, bukankah kampus justru sedang mengkhianati perannya sebagai pusat lahirnya gagasan dan inovasi? Apakah kebijakan ini hanya dibuat untuk melanggengkan kepentingan segelintir pihak dalam struktur kepemimpinan kampus? Pertanyaan-pertanyaan ini layak untuk dijawab secara terbuka dan transparan, sebab menyangkut arah pendidikan tinggi dan masa depan generasi muda.
Menghadapi situasi ini, organisasi kemahasiswaan harus memperkuat strategi advokasi dengan Membangun komunikasi yang elegan namun tegas dengan pihak kampus, mengedepankan argumentasi berbasis hukum dan akademik. Memperluas jejaring dan aliansi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk organisasi masyarakat sipil dan lembaga perlindungan hak mahasiswa. Merancang program kegiatan yang relevan secara sosial, sehingga keberadaan organisasi tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan mitra strategis kampus.
Harapan saya, pihak kampus mampu meninjau ulang kebijakan pelarangan berorganisasi dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang mahasiswa dan institusi pendidikan itu sendiri. Memberikan ruang seluas-luasnya bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri melalui organisasi bukanlah bentuk pembangkangan terhadap otoritas kampus, melainkan investasi terhadap kualitas sumber daya manusia yang akan dihasilkan. Pendidikan tinggi yang sejati adalah pendidikan yang memerdekakan pikiran, memperluas cakrawala, dan menumbuhkan keberanian moral untuk memperjuangkan kebenaran.